Jumat, 09 Oktober 2015

Mengapa Buaya 'doyan' memangsa manusia



(sebuah catatan refleksi hari lingkungan hidup Sedunia)

Oleh. Baharudin Hamzah
(Mahasiswa Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan Undana Kupang)
Hari ini genap 43 tahun, Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 5 Juni 1972 sebagai  Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Penetapan ini bertepatan dengan sidang umum PBB untuk menandai pembukaan Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm. Peringatan Hari Lingkungan Hidup diharapkan dapat meningkatkan kesadaran global akan kebutuhan untuk mengambil tindakan lingkungan yang positif. Sekaligus menjadi instrumen penting untuk meningkatkan kesadaran tentang lingkungan dan mendorong perhatian dan tindakan politik di tingkat dunia.
Kerusakan lingkungan saat ini sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan. Pemberitaan media tentang kasus tewasnya ribuan warga di India akibat gelombang matahari, adanya tiupan terompet yang menggema di berbagai belahan dunia yang diduga berasal dari benda langit adalah sinyal kuat bahwa kerusakan bumi sudah pada tingkat membahayakan keselamatan umat manusia. Dalam konteks Nusa Tenggara Timur, penulis mengangkat kasus buaya yang makin ‘doyan’ memangsa manusia belakangan ini adalah salah satu fenomena kerusakan lingkungan yang juga sudah mengkhawatirkan di aras lokal.
Masih segar dalam ingatan kita, Filipe De Araujo (55) warga Desa Tuapukan Kecamatan kupang Timur Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur  yang tewas dimangsa buaya Minggu 10 Mei 2015  seperti dilansir Harian Pagi Timor Express. Arujo ditemukan oleh pencari batu akik Stef Tolang (22) tanpa busana di muara sungai manikin dengan kondisi tubuh yang sudah tidak utuh lagi. Sehari sebelumnya Araujo bersama  anaknya, Ak Filipi (18) menjala  ikan di laut tak jauh dari tempat tinggal mereka di kamp pengungsi Tuapukan. Namun saat tengah malam, anaknya Filipi kembali ke rumah seorang diri melaporkan ayahnya hilang.  Filipe kemudian bersama keluarganya melaporkan musibah itu kepada polisi. Pencarian pun dilakukan, namun korban tidak ditemukan. Ia baru ditemukan oleh warga pada keesokan harinya. Dalam  kondisi tanpa busana dan tak bernyawa di bantaran Kali Manikin. Lokasi temuan berjarak beberapa kilometer dari tempat kejadian.
Kasus buaya memangsa manusia di NTT khususnya warga Kabupaten Kupang dan Kota kupang,  bukan peristiwa langka. Namun setidaknya kasus buaya versus manusia di Kupang seperti dilansir media dalam enam tahun terakhir terus menghiasi pemberitaan media lokal dan nasional, tidak sekadar memangsa manusia, namun reptil buas dan terkenal ganas  itu juga sempat ditangkap warga Oeba Kota Kupang 14 Mei 2012 lalu dengan panjang 3 meter.
 Dalam catatan penulis berdasarkan pemberitaan media, Arujo adalah  Korban kasus ke-6 dalam enam tahun terakhir di Kupang . Sebelumnya  pada Jumat (28/5/2013), Sam Sem Ledo juga tewas mengenaskan ketika sedang memancing di muara sungai dekat rumahnya di Kelurahan Merdeka, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang. Keluarga kemudian menemukan kepala pria tersebut di sungai. Awalnya, ditemukan keranjang ikan, peralatan memancing dan sendal jepit. Lalu tak lama ditemukan kepala mengambang di muara lalu ususnya juga ditemukan di sungai.
Selain itu korban keganasan buaya lainnya adalah Amarshing( 39), warga Kelurahan Solor, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT),  yang tewas dan tidak ditemukan sejak 17 November 2013  diterkam buaya dan diseret ke tengah lautan saat menyelam mencari ikan. Korban diketahui diterkam buaya setelah sejumlah nelayan menemukan seekor buaya sedang membawa tubuh manusia di mulutnya. Nelayan sempat berusaha menangkap buaya tersebut, namun gagal, sampai saat ini tidak ditemukan. Tak sampai disitu korban lainnya adalah  Thobias Anias Selu , mahasiswa semester tiga Fakultas Teknik Universitas Nusa Cendana  Kupang, Nusa Tenggara Timur, ditemukan tak bernyawa di Pantai Oebelo, Kabupaten Kupang, Rabu, 5 November 2014  dimangsa buaya. Korban menjadi korban serangan buaya saat sedang menjala ikan di Pantai Lasiana, Kupang. Korban ditemukan dalam kondisi tanpa lengan kanan dan terdapat bekas cakaran pada tubuhnya. Selain itu, pinggul kirinya terluka. Ditemukan jejak buaya tak jauh dari jenazah Tobi. Kasus ini merupakan yang kedua kalinya terjadi di obyek wisata Pantai Lasiana.
 jenazah ditemukan18 jam kemudian setelah dilakukan pencarian oleh tim Search and Rescue Kupang di Pantai Oebelo. Selain itu Yesly Lole (13), murid kelas V SD Inpres Onansila, tewas mengenaskan akibat diterkam buaya di Pantai Onansila, Desa Onansila, Pulau Semau, Nusa Tenggara Timur, Senin (17/2/2014)
Menurut data yang dirilis Balai Konservasi sumber Daya alam (BKSDA) NTT seperti dilansir harian Pagi Timor Expres, sejak 2011 sampai 2015, sudah 17 warga NTT diberbagai wilayah tewas disantap buaya. Korban keganasan buaya di NTT mulai 11 Desember 2011, kasus ini terjadi di kabupaten Lembata korbannya adalah Antonius Boli Wolor, dan yang terakhir adalah Filipe de Araujo di Noelbaki 10 Mei 2015. Data BKSDA NTT, di NTT terdapat lima habitat buaya, yakni di Reo (Ngada), Maubesi (Malaka), Manipo (Kabupaten Kupang), Noelmnia (TTS) dan Walakiri (Sumba Timur). Spesis buaya yang hidup di NTT adalah buaya muara atau lebih dikenal dengan istilah Latin Crocodylus porosus. Ini adalah spesies terganas.
Buaya Kerusakan habitat ?
Maraknya kasus buaya memangsa manusia di Kupang  tentunya disebabkan berbagai faktor. Salah satu faktor yang dominan  adalah kerusakan  habitat (tempat tinggal ) buaya, sehingga terancam dan mencari habitat baru. Kerusakan lingkungan ini dibebabkan oleh berbagai faktor juga seperti penebangan hutan mangrove di kawasan muara sebagai habitat buaya, alih fungsi kawasan muara sungai menjadi kawasan pemukiman atau lahan pertanian sehingga menggeser habitat buaya.
Menurut Pakar hukum Lingkungan Undana Kupang Prof. Jimmi Pello (Timor Express, 15/11), beberapa jenis flora dan fauna khususnya satwa di NTT mulai langka, bahkan terancam punah. Kelangkaan satwa ini, disebabkan berbagai faktor. Namun, faktor umum dan dominan adalah adanya ketidakseimbangan ekositem hidup baik itu manusia, hewan dan tumbuhan. Akibatnya, banyak satwa langka yang tergusur bahkan kehilangan habitat. Lalu, perlahan hilang dan akhirnya bisa punah.
Kondisi ketidakseimbangan lingkungan semakin diperparah dengan ulah dan perilaku manusia yang semakin tak ramah lingkungan. Ia mencontohkan, pembangunan yang menerobos habitat makluk hidup lain, tanpa mempertimbangkan keseimbangan alam, perburuan besar-besaran serta perilaku pengrusakan oleh manusia menjadi penyebab terancam punahnya hewan satwa di daerah ini. Termasuk maraknya buaya memangsa manusia karena habitanya sudah rusak.
Sementara itu menurut Ahli Reptil dari lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) Hellen Kurniati (Timex, 15/11) buaya mempunyai tingkat adaptasi yang sangat tinggi, buaya bisa hidup di air asin dan air tawar. Daerah jelajahnya di laut, hulu sungai , pantai berpasir halus, hutan bakau dan sungai berair tawar.
Setiap buaya mempunyai daerah teritorial yang menjadi daerah kekuasaannya .daerah  teritorial tersebut umumnya menjadi tempat mencari makan, berjemur diri, kawin dan membuat sarang untuk bertelur. Dan salah satu penyebab buaya berjelajah  ke luar daerah yang lebih luas disebabkan karena kekurangan makanan seperti mamalia kecil ikan dan burung.
Khusus untuk mangsa, menurut Hellen, makin besar tubuh buaya, maka mereka akan mencari mangsa yang lebih besar. Salah satu mangsanya adalah manusia. Sifat berburu mangsa pada buaya adalah menunggu dan mengamati. Sehingga  manusia yang umumnya menjadi mangsa sedang tidak banyak bergerak, seperti sedang mencuci, mandi, buang air di tepi sungai, atau sedang memancing
Tanggungjawab siapa ?
Meskipun sudah banyak nyawa manusia melayang disantap buaya, namun sampai saat ini, tak ada pihak yang mengaku paling bertanggungjawab terhadap keganasan reptil yang dilindungi oleh Undang-undang itu. Keluarga korbanpun akhirnya harus pasrah menerima ‘kepergian’ keluarga mereka sebagai musibah. Padahal buaya rawa, adalah salah satu jenis hewan reptil yang dilindungi oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan PP Nomor 7 Tahun 1999. Aktiitas manusia menjadi terancam, obyek-obyek wisata menjadi sepi karena wisatawan dihantui keganasan buaya. Efek dari buaya meninggalkan habitatnya mengancam keselamatan manusia, dan berdampak luas, terutama di kabupaten dan Kota Kupang.
Oleh karena itu semestinya di daerah-daerah yang menjadi habitat buaya  harus ada sinergi antara berbagai pihak, baik Pemerintah daerah, BKSDA dan stakeholders lainnya untuk  segera  membuat tanda  (rambu) larangan di  lokasi pantai atau muara sungai  yang rawan oleh ancaman buaya.
Selain itu dalam perencanaan tata ruang wilayah, pemerintah daerah kabupaten Kupang harus menetapkan kawasan sesuai peruntukannya agar msyarakat tidak menerobos masuk ke daerah kawasan yang menjadi habitat reptil ganas itu. Dan yang tak kalah pentingnya adalah aspek penegakan hukum terkait perusakan lingkungan juga harus ditegakkan agar keberadaan lingkungan dan ekosistemnya tetap terpelihara untuk pembangunan berkelanjutan demi masa depan generasi yang akan datang.
Karena pada prinsipnya, semua makhluk hidup yang diciptakan Tuhan, di bumi ini  tak ada yang sia-sia, semua sudah memiliki tugas dan fungsinya masing-masing untuk menyeimbangkan alam. Dengan demikian maka buaya tetap hidup sebagai makhluk hidup dan manusia juga tidak boleh lagi menjadi korban keganasan buaya berikutnya, semua hidup  di bumi yang satu tetapi saling menjaga keseimbangan. Akhirnya, Selamat Hari Lingkungan Hidup sedunia 2015 !*)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar