(sebuah catatan refleksi hari lingkungan hidup Sedunia)
Oleh. Baharudin Hamzah
(Mahasiswa Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan
Undana Kupang)
Hari ini genap 43 tahun, Perserikatan Bangsa- Bangsa
(PBB) menetapkan tanggal 5 Juni 1972 sebagai
Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Penetapan ini bertepatan dengan sidang umum PBB untuk menandai
pembukaan Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm. Peringatan
Hari Lingkungan Hidup diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran global akan kebutuhan untuk mengambil tindakan
lingkungan yang positif. Sekaligus menjadi instrumen penting untuk meningkatkan kesadaran tentang
lingkungan dan mendorong perhatian dan tindakan politik di tingkat dunia.
Kerusakan
lingkungan saat ini sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan. Pemberitaan media
tentang kasus tewasnya ribuan warga di India akibat gelombang matahari, adanya
tiupan terompet yang menggema di berbagai belahan dunia yang diduga berasal
dari benda langit adalah sinyal kuat bahwa kerusakan bumi sudah pada tingkat
membahayakan keselamatan umat manusia. Dalam konteks Nusa Tenggara Timur,
penulis mengangkat kasus buaya yang makin ‘doyan’ memangsa manusia belakangan
ini adalah salah satu fenomena kerusakan lingkungan yang juga sudah
mengkhawatirkan di aras lokal.
Masih
segar dalam ingatan kita, Filipe De Araujo
(55) warga Desa Tuapukan Kecamatan kupang Timur Kabupaten Kupang Nusa Tenggara
Timur yang tewas dimangsa buaya Minggu
10 Mei 2015 seperti dilansir Harian Pagi
Timor Express. Arujo ditemukan oleh pencari batu akik Stef Tolang (22) tanpa busana
di muara sungai manikin dengan kondisi tubuh yang sudah tidak utuh lagi. Sehari
sebelumnya Araujo bersama anaknya, Ak Filipi (18) menjala
ikan di laut tak jauh dari tempat tinggal
mereka di kamp pengungsi Tuapukan. Namun saat tengah malam, anaknya Filipi
kembali ke rumah seorang
diri melaporkan ayahnya hilang. Filipe kemudian bersama keluarganya melaporkan
musibah itu kepada polisi. Pencarian pun dilakukan, namun korban tidak
ditemukan. Ia baru ditemukan
oleh warga pada keesokan harinya. Dalam kondisi tanpa busana dan tak bernyawa di
bantaran Kali Manikin. Lokasi temuan berjarak beberapa kilometer dari tempat kejadian.
Kasus
buaya memangsa manusia di NTT khususnya warga Kabupaten Kupang dan Kota
kupang, bukan peristiwa langka. Namun
setidaknya kasus buaya versus manusia di Kupang seperti dilansir media dalam enam
tahun terakhir terus menghiasi pemberitaan media lokal dan nasional, tidak
sekadar memangsa manusia, namun reptil buas dan terkenal ganas itu juga sempat ditangkap warga Oeba Kota
Kupang 14 Mei 2012 lalu dengan panjang 3 meter.
Dalam catatan penulis berdasarkan pemberitaan
media, Arujo adalah Korban kasus
ke-6 dalam enam tahun terakhir di Kupang . Sebelumnya pada Jumat (28/5/2013), Sam Sem Ledo juga
tewas mengenaskan ketika sedang memancing di muara sungai dekat rumahnya di Kelurahan
Merdeka, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang. Keluarga kemudian menemukan
kepala pria tersebut di sungai. Awalnya,
ditemukan keranjang ikan, peralatan memancing dan sendal jepit. Lalu tak lama
ditemukan kepala mengambang di muara lalu ususnya juga ditemukan di sungai.
Selain itu korban keganasan buaya lainnya adalah Amarshing( 39), warga
Kelurahan Solor, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang tewas dan tidak ditemukan sejak 17 November
2013 diterkam buaya dan diseret ke
tengah lautan saat menyelam mencari ikan. Korban diketahui diterkam buaya
setelah sejumlah nelayan menemukan seekor buaya sedang membawa tubuh manusia di
mulutnya. Nelayan sempat berusaha menangkap buaya tersebut, namun gagal, sampai saat ini tidak ditemukan. Tak sampai disitu korban
lainnya adalah Thobias Anias Selu , mahasiswa semester tiga Fakultas
Teknik Universitas Nusa Cendana Kupang, Nusa Tenggara Timur,
ditemukan tak bernyawa di Pantai Oebelo, Kabupaten Kupang, Rabu, 5 November
2014 dimangsa buaya. Korban menjadi korban serangan
buaya saat sedang menjala ikan di Pantai Lasiana, Kupang. Korban ditemukan dalam kondisi tanpa
lengan kanan dan terdapat bekas cakaran pada tubuhnya. Selain itu, pinggul
kirinya terluka. Ditemukan jejak buaya tak jauh dari jenazah Tobi. Kasus ini
merupakan yang kedua kalinya terjadi di obyek wisata Pantai Lasiana.
jenazah ditemukan18 jam kemudian setelah dilakukan pencarian oleh tim Search and Rescue Kupang di Pantai Oebelo. Selain itu Yesly Lole (13), murid kelas V SD Inpres Onansila, tewas mengenaskan akibat diterkam buaya di Pantai Onansila, Desa Onansila, Pulau Semau, Nusa Tenggara Timur, Senin (17/2/2014)
jenazah ditemukan18 jam kemudian setelah dilakukan pencarian oleh tim Search and Rescue Kupang di Pantai Oebelo. Selain itu Yesly Lole (13), murid kelas V SD Inpres Onansila, tewas mengenaskan akibat diterkam buaya di Pantai Onansila, Desa Onansila, Pulau Semau, Nusa Tenggara Timur, Senin (17/2/2014)
Buaya Kerusakan habitat ?
Maraknya
kasus buaya memangsa manusia di Kupang
tentunya disebabkan berbagai faktor. Salah satu faktor yang dominan adalah kerusakan habitat (tempat tinggal ) buaya, sehingga
terancam dan mencari habitat baru. Kerusakan lingkungan ini dibebabkan oleh
berbagai faktor juga seperti penebangan hutan mangrove di kawasan muara sebagai
habitat buaya, alih fungsi kawasan muara sungai menjadi kawasan pemukiman atau
lahan pertanian sehingga menggeser habitat buaya.
Menurut
Pakar hukum Lingkungan Undana Kupang Prof.
Jimmi Pello (Timor Express, 15/11), beberapa jenis flora dan fauna khususnya satwa di NTT
mulai langka, bahkan terancam punah. Kelangkaan satwa ini, disebabkan berbagai faktor. Namun,
faktor umum dan dominan adalah adanya ketidakseimbangan ekositem hidup baik itu
manusia, hewan dan tumbuhan. Akibatnya, banyak satwa langka yang tergusur
bahkan kehilangan habitat. Lalu, perlahan hilang dan akhirnya bisa punah.
Kondisi
ketidakseimbangan lingkungan semakin diperparah dengan ulah dan perilaku
manusia yang semakin tak ramah lingkungan. Ia mencontohkan, pembangunan yang
menerobos habitat makluk hidup lain, tanpa mempertimbangkan keseimbangan alam,
perburuan besar-besaran serta perilaku pengrusakan oleh manusia menjadi
penyebab terancam punahnya hewan satwa di daerah ini. Termasuk maraknya buaya memangsa manusia karena
habitanya sudah rusak.
Sementara itu menurut Ahli Reptil dari lembaga Ilmu pengetahuan
Indonesia (LIPI) Hellen Kurniati (Timex, 15/11) buaya mempunyai tingkat
adaptasi yang sangat tinggi, buaya bisa hidup di air asin dan air tawar. Daerah
jelajahnya di laut, hulu sungai , pantai berpasir halus, hutan bakau dan sungai
berair tawar.
Setiap
buaya mempunyai daerah teritorial yang menjadi daerah kekuasaannya .daerah teritorial tersebut umumnya menjadi tempat
mencari makan, berjemur diri, kawin dan membuat sarang untuk bertelur. Dan
salah satu penyebab buaya berjelajah ke
luar daerah yang lebih luas disebabkan karena kekurangan makanan seperti
mamalia kecil ikan dan burung.
Khusus untuk
mangsa, menurut Hellen, makin besar tubuh buaya, maka mereka akan
mencari mangsa yang lebih besar. Salah satu mangsanya adalah manusia. Sifat
berburu mangsa pada buaya adalah menunggu dan mengamati. Sehingga manusia yang umumnya menjadi mangsa
sedang tidak banyak bergerak, seperti sedang mencuci, mandi, buang air di tepi
sungai, atau sedang memancing
Tanggungjawab siapa ?
Meskipun sudah banyak nyawa manusia melayang disantap buaya, namun sampai
saat ini, tak ada pihak yang mengaku paling bertanggungjawab terhadap keganasan
reptil yang dilindungi oleh Undang-undang itu. Keluarga korbanpun akhirnya
harus pasrah menerima ‘kepergian’ keluarga mereka sebagai musibah. Padahal buaya
rawa, adalah salah satu jenis hewan reptil yang dilindungi oleh Undang-Undang
No. 5 Tahun 1990 dan PP Nomor 7 Tahun 1999. Aktiitas manusia menjadi terancam, obyek-obyek wisata
menjadi sepi karena wisatawan dihantui keganasan buaya. Efek dari buaya
meninggalkan habitatnya mengancam keselamatan manusia, dan berdampak luas,
terutama di kabupaten dan Kota Kupang.
Oleh
karena itu semestinya di
daerah-daerah yang menjadi habitat buaya
harus ada sinergi antara berbagai pihak, baik Pemerintah daerah, BKSDA
dan stakeholders lainnya untuk segera membuat tanda (rambu) larangan
di lokasi pantai atau muara sungai yang rawan oleh ancaman buaya.
Selain itu dalam
perencanaan tata ruang wilayah, pemerintah daerah kabupaten Kupang harus
menetapkan kawasan sesuai peruntukannya agar msyarakat tidak menerobos masuk ke
daerah kawasan yang menjadi habitat reptil ganas itu. Dan yang tak kalah
pentingnya adalah aspek penegakan hukum terkait perusakan lingkungan juga harus
ditegakkan agar keberadaan lingkungan dan ekosistemnya tetap terpelihara untuk
pembangunan berkelanjutan demi masa depan generasi yang akan datang.
Karena pada
prinsipnya, semua makhluk hidup yang diciptakan Tuhan, di bumi ini tak ada yang sia-sia, semua sudah memiliki
tugas dan fungsinya masing-masing untuk menyeimbangkan alam. Dengan demikian
maka buaya tetap hidup sebagai makhluk hidup dan manusia juga tidak boleh lagi
menjadi korban keganasan buaya berikutnya, semua hidup di bumi yang satu tetapi saling menjaga
keseimbangan. Akhirnya, Selamat Hari Lingkungan Hidup sedunia 2015 !*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar