Selasa, 13 Oktober 2015

BUDAYA HOKKO LEWO, KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT LAMAKUKUNG MENJAGA HARMONI



                                                                                                

MELESTARIKAN BUDAYA 'HOKKO LEWO', SEBUAH KEARIFAN LOKAL
MASYARAKAT LAMAKUKUNG  DALAM MENJAGA HARMONI
ANTARA MANUSIA DAN LINGKUNGAN

 Baharudin Hamzah
(Mahasiswa Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan Undana Kupang)
Abstract
BAHARUDIN HAMZAH : Hokko Lewo literally came from the word Hokko means, lifting or cleaning, while Lewo means village. In a broad sense Hokko Lewo means, village cleaning activities and symbols of various impurities that village (Lewo) be clean, physically from various garbage visually photographed by humans. Meanwhile, in a spiritual context, the activity is defined as a human ikhitiar to liberate the village as people from various plagues and calamities that come from the creator of nature or society Lamaholot known as 'Ama Rera quarterly' (Mr. Sun and the Moon).
Community Lamakukung Dawata'a Village District of East Adonara have a cultural tradition that is inherited from generation to generation until now is Hokko Lewo ceremony is always held three times a year. Although the development of civilization continues to advance with the presence of religion revealed by God as revelation through prophets, but the culture Hokko Lewo coming long before the presence of religion still exist existence.
Community Lamakukung Dawata'a village District of East Adonara as a civilized community believes that Hokko Lewo is part of a way of communicating with nature and the creator. Also believed that natural disasters ditimpahkan such as droughts, floods and landslides and other natural events occur because is a causal relationship can not be separated between human cultural practices in managing natural and kemurkahan God. Therefore, Lewo Hokko ceremony practiced in an effort aimed at maintaining a harmonious relationship between man and the creator as well as the environment. With this ritual Lamakukung community believe that they will be free of calamities.

 Keywords: Hokko, Lewo, Lamakukung





BAHARUDIN HAMZAH : Hokko Lewo secara harfiah bersal dari kata Hokko artinya, angkat atau membersihkan, sedangkan Lewo artinya  Kampung. Dalam pengertian yang luas Hokko lewo artinya, kegiatan membersihkan kampung dan simbol-simbolnya dari berbagai kotoran agar kampung (Lewo) menjadi bersih,secara fisik dari berbagai sampah yang terpotret secara visual oleh manusia. Sedangkan dalam konteks spiritual, kegiatan tersebut dimaknai sebagai ikhitiar manusia  untuk membebaskan kampung sebagai manusia dari berbagai malapetaka dan musibah yang datang dari pencipta alam atau yang dikenal masyarakat lamaholot dengan sebutan’ Ama rera wulan’ (Bapak matahari dan Bulan).
Masyarakat Lamakukung Desa Dawata’a Kecamatan Adonara Timur memiliki sebuah tradisi kebudayaan yang terwarisi dari generasi ke generasi hingga kini adalah upacara Hokko Lewo yang selalu digelar tiga kali dalam setahun. Meskipun perkembangan peradaban terus maju dengan kehadiran agama yang diturunkan oleh Tuhan sebagai wahyu melalui para nabi, namun kebudayaan Hokko Lewo yang datang jauh sebelum kehadiran agama tetap eksis keberadaannya.
Masyarakat Lamakukung desa Dawata’a Kecamatan Adonara Timur sebagai sebuah komunitas yang berbudaya meyakini bahwa hokko lewo adalah bagian dari cara berkomunikasi dengan alam dan sang pencipta. Diyakini pula bahwa berbagai bencana alam yang ditimpahkan seperti kekeringan, banjir dan tanah longsor dan berbagai peristiwa alam lainnya terjadi karena  adalah hubungan sebab akibat yang tak bisa dipisahkan antara praktek budaya manusia dalam mengelola alam dan kemurkahan Tuhan. Karenanya, upacara hokko lewo dipraktekkan sebagai usaha bertujuan  menjaga keselarasan hubungan antara  antara  manusia dan sang pencipta serta lingkungan. Dengan ritual ini masyarakat Lamakukung meyakini bahwa mereka akan terbebas dari berbagai musibah.

 Kata Kunci : Hokko, Lewo, Lamakukung






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Budaya yang dikembangkan oleh manusia akan berimplikasi pada lingkungan tempat kebudayaan itu berkembang. Suatu kebudayaan memancarkan suatu ciri khas dari masyarakatnya yang tampak dari luar, artinya orang asing. Dengan menganalisis pengaruh akibat budaya terhadap lingkungan seseorang dapat mengetahui, mengapa suatu lingkungan tertentu akan berbeda dengan lingkungan lainnya dan menghasilkan kebudayaan yang berbeda pula.
Usaha untuk menjelaskan perilaku manusia sebagai perilaku budaya dalam kaidah dengan lingkungannya, terlebih lagi perspektif lintas budaya akan mengandung banyak variabel yang saling berhubungan dalam keseluruhan sistem terbuka. Pendekatan yang saling berhubungan dengan psikologi lingkungan adalah pendekatan sistem yang melihat rangkaian sistemik antara beberapa subsistem yang ada dalam melihat kenyataan lingkungan total yang melingkupi satuan budaya yang ada.
Beberapa variabel yang berhubungan dengan masalah kebudayaan dan lingkungan diantaranya, Physical Environment, menunjuk pada lingkungan natural seperti: temperatur, curah   hujan, iklim, wilayah geografis, flora dan fauna. Cultural Social Environment, meliputi aspek-aspek kebudayaan beserta proses sosialisasi seperti: norma - norma, adat istiadat, dan nilai-nilai. Environmental Orientation and Representation, mengacu pada persepsi dan keper-cayaan kognitif yang berbeda beda pada setiap masyarakat mengenai Iingkungannya. Environmental Behavior and Process, meliputi bagaimana masyarakat menggunakan lingkungan dalam hubungan sosial. Serta  Out Carries Product, meliputi hasil tindakan manusia seperti membangun rumah, komunitas, kota beserta usaha-usaha manusia dalam memodifikasi lingkungan fisik seperti budaya pertanian dan iklim.
      Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kebudayaan yang berlaku dan dikembangkan dalam lingkungan tertentu berimplikasi terhadap pola tata laku, norma, nilai dan aspek kehidupan lainnya yang akan menjadi ciri khas suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
      Budaya Hokko Lewo merupakan sebuah tradisi warisan leluhur masyarakat Lamakukung Desa Dawata’a Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur yang terpelihara sampai saat ini. Budaya hokko lewo  sebagai sebuah rangkaian kegiatan ritual yang berhubungan dengan lingkungan. Masyarakat Lamakukung menyakini bahwa Hokko Lewo atau bersihkan kampung sebagai sarana untuk mengusir  berbagai penyakit dari dalam kampung dan ekspresi ungkapan terima kasih masyarakat Lamakukung kepada para leluhur dan sang pencipta, karena mereka terlindungi dari berbagai bencana dan musibah. Rangkaian kegiatan kebudayaan ini berlangsung tiga kali dalam setahun. Kegiatan pertama digelar bertepatan dengan musim tanam, kegiatan kedua digelar saat hasil panen mulai berbuah, dan kegiatan ketiga digelar setelah musim panen.
B.Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.    Mengkaji berbagai literatur tentang praktek kebudayaan manusia yang relevan dengan pelestarian lingkungan hidup.
2.    Menambah khazanah pengetahuan tentang pentingnya kearifan lokal dalam rangka menjaga keseimbangan antara kegiatan kebudayaan manusia dengan pengelolaan sumber daya alam.
3.    Memenuhi tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia

















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a.    Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan merupakan kata berimbuhan dari kata dasar budaya. Budaya atau kebudayaan berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu budayyah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.(duniabaca.com).
Dalam Bahasa Inggris, kebudayaan disebut dengan culture yang berasal dari Bahasa Latin Colere, yang berarti mengolah atau mengerjakan. Dalam Bahasa Indonesia  culture sudah menjadi kata serapan yaitu kultur.
Kebudayaan sangat erat kaitannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dalam ehidupan sehari-hari kita melihat segala upaya yang dilakukan manusia untuk menemukan dan penciptakan suatu inovasi merupakan proses dan hasil dari budaya.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi, segala penryataan intelektual dan artistik yng menjadi ciri khas suatu masyarakat (wikipedia.org).
Sedangkan definisi dari Ki Hajar Dewantara, mengartikan kebudayaan sebagai buah budi manusia yang merupakan perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yaitu zaman alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai macam rintangan dan kesukaran dalam hidup (fadila-hasnan93.blogspot.com).
Perwujudan dari kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Jadi, kebudayaan merupakan suatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan yang meliputi ide atau gagasan yang terdapat dalam fikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Namun, kebudayaan dapat dilihat dari perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata yang ada di lingkungan masyarakat sebagai wujud ciptaannya sebagai makhluk yang berbudaya.
Setiap masyarakat memiliki tujuh unsusr kebudayaan (cultural universal) yang dikemukan oleh C. Kluckhon, yaitu:
1)      Sistem religius (homo religius)
Merupakan produk manusia sebagai makhluk homo religius. Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur, tanggap bahwa di atas kekuatan dirinya terdapat kekutan lain yang Maha Besar. Karena itu, manusia takut sehingga menyembah-Nya dan lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama.
2)  Sistem organisasi kemasyarakatn (homo socius)
Merupakan produk manusia sebagai homo socius. Manusia sadar bahwa tubuhnya lemah namun memiliki akal, maka disusunlah organisasi kemasyarakatan di mana manusia bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
3) Sistem pengetahuan (homo sapiens) Merupakan produk manusia sebagai homo   sapiens. Pengetahuan dapat diperoleh dari pemikiran sendiri maupun dari orang lain.
4) Sistem mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (homo economicus) merupakan produk manusia sebagai homo economicus, yaitu menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat.
5) Sistem peralatan hidup dan teknologi (homo faber) merupakan produk manusia sebagai homo faber. Bersumber dari pemikirannya yang cerdas dan dibantu dengan tangannya manusia dapat membuat dan menggunakan alat, dengan alat-alat ciptaannya itulah manusia dapat lebih mampu mencukupi kebutuhannya.
6)   Kesenian
 7)   Sistem bahasa
Kebudayaan adalah produk akal manusia dan merupakan anugerah Tuhan. Dengan budaya manusia mampu mengembangkan aktivitas dan kreativitasnya hingga pada tingkiat luar biasa. Budaya dapat diartikan sebagai  sistem nilai dan gagasan utama. Menurut Koentjaraningrat, 1990 dalam Mufid, 2014 kebudayaan diartikan sebagai  keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan mayarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Dengan demikian, hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena sangat sedikit tindakan manusia yang dilakukan melalui proses refleks, tanpa melalui proses berfikir dan belajar. Sedangkan insting atau naluri  adalqh pembawaan yang bersifat universal, yang dimiliki oleh setiap manusia dan ada kesamaan dalam performa  sepert takut, sedih, tertawa, menangis dan lainnya tanpa dipelajari, dia ada secara universal tanpa memandang etnis dan geografis.
Menurut Van Peursen 1976 dalam Mufid, 2014, membicarakan kebudayaan sama dengan membicarakan manusia. Ini bermakna bahwa antara manusia dan budayanya tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, jika membicarakan tentang hakikag manusia, sama dengan dengan membicarakan hakikat budayanya. Manusia, akal dan budayanya adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan yang telah terintegrasi ke dalam sosok manusia
 Kebudayaan menurut Taylor dalam Soekanto (1990), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan,kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan kebudayaan adalah segala perubahan yang mencakup unsur-unsur tersebut.
Dalam konteks kebudayaan, bentuk penghormatan kepada mata air, pohon, gunung dan hutan sebagai ruang yang diyakini sebagai tempat yang memiliki ’penjaga’  yang dimaknai memiliki  kekuatan gaib, ternyata dapat menciptakan cara berperilaku  manusia yang tidak jauh dengan prinsip konservasi.
Karena dalam prinsip konservasi, yang dibutuhkan adalah rasa saling menghormati dan menjaga alam. Masyarakat cenderung akan berpikir ulang jika melakukan kegiatan di tempat-tempat yang dianggap memiliki kekuatan atau ada ’penjaga’. Mereka akan menjaga dan menghormati tempat-tempat tersebut. Meskipun bentuk dari penghormatan tersebut seringkali berupa ritual-ritual tertentu, namun dapat merubah sikap bijaksana untuk menjaga harmoni dengan alam. Suatu tempat yang dianggap memiliki kekuatan mistik atau angker membuat manusia jarang  beraktivitas di tempat itu. Hal tersebut dapat menjaga keseimbangan ekosistem.
b.    Pentingnya Menjaga  Kearifan Lokal
Dalam beradaptasi dengan lingkungan, masyarakat memperoleh dan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktivitas, dan peralatan sebagai hasil abstraksi mengelola lingkungan. Seringkali pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat dijadikan pedoman yang akurat dalam mengembangkan kehidupan di lingkungan pemukimannya.
Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan hidup yang ada dalam masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun temurun menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan dapat ditumbuhkan secara efektif melalui pendekatan kebudayaan. Jika kesadaran tersebut dapat ditingkatkan, maka hal itu akan menjadi kekuatan yang sangat besar dalam pengelolaan lingkungan.
Dalam pendekatan kebudayaan ini, penguatan modal sosial, seperti pranata sosialbudaya, kearifan lokal, dan norma-norma yang terkait dengan pelestarian lingkungan hidup menjadi penting menjadi basis yang utama.
Krisis ekonomi dewasa ini, masyarakat yang hidup dengan menggantungkan alam dan mampu menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dengan kearifan lokal yang dimiliki dan dilakukan tidak begitu merasakan adanya krisis ekonomi, atau pun tidak merasa terpukul seperti halnya masyarakat yang hidupnya sangat dipengaruhi oleh kehidupan modern. Maka dari itu kearifan lokal penting untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan lingkungannya. Berkembangnya kearifan lokal tersebut tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor yang akan mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungannya.
c.     Hokko Lewo, Kearifan Lokal dan Pelestarian Lingkungan
            Ritual merupakan bagian dari kepercayaan. Di kalangan masyarakat lamaholot  setiap tempat berbeda-beda ritual yang berhubungan langsung dengan alam. Prosesi ritual dilakukan sebagai bagian dari ikhtiar manusia membebaskan diri dari berbagai bencana akibat kemurkaan alam. Masyarakat Lamaholot, khususnya Lamakukung masih meyakini bahwa gunung, hutan, mata air, pohon yang rindang memiliki kekuatan mistis karena ditempat itu ada ’penjaga’. Kepercayaan ini secara tidak langsung sebagai upaya konservasi sumber daya alam, karena hutan, mata air, pohon tidak bisa ditebang secara liar. Selain harus ada ritual untuk meminta ’restu’. Juga pilihan waktu (oras) juga harus tepat. Jika semua persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka bisa menimbulkan bencana alam.
    Menurut Keraf (2002), kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.
Selanjutnya Francis Wahono (2005) dalam jejak hijau (2012) menjelaskan, kearifan lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia. Kearifan local tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang mempedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh.
Dari uraian diatas, maka kearifan lokal Hokko lewo adalah sebuah ikhtiar masyarakat lamakukung menjaga harmoni ekologis, sebagai bentuk konservasi terhadap sumber daya alam yang diyakini setiap tempat, terutama hutan, mata air, pohon memiliki ’penjaga’. para ’penjaga’ yang menempati hutan, mata air, pohon dan simbol-simbol lain yang dibuat oleh masyarakat lamakukung seperti Nuba, (tempat upacara ritual ) bau lolon.
Ritual diadakan oleh masyarakat lamakukung sebagai bentuk penghormatan kepada roh-roh sebagai penjaga gunung, hutan, dan  pohon serta kampung. Bentuk dari ritual tersebut sangat beragam. Mulai dari penghormatan agar roh-roh tersebut tidak menggangu masyarakat, sampai pada penghormatan sebagai bentuk rasa syukur karena telah melimpahkan rejeki.          Ritual Hokko Lewo yang dilakukan masyarakat Lamakukung ini  tidak lepas dari adanya pandangan masyarakat terhadap alam bahwa setiap aktivitas yang dilakukan berhubungan dengan alam semestinya dilakukan dengan ritual sebagai ungkapan pernyataan rasa syukur dan terima kasih.
Ritual hokko lewo yang dianut masyarakat Lamakukung dilakukan tiga kali dalam setahuan yakni:
1.   Ritual Hokko Lewo setelah menanam . Menurut kepercayaan masyarakat lamakukung, ritual ini digelar untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada sang pencipta, karena masih diberi kesempatan hidup, dan mereka memperoleh rahmat Tuhan berupa air   hujan sehingga mereka bisa bercocok tanam, serta minta hasil panen mereka berlimpah. Ritual ini biasanya digelar bulan November-Januari  setelah seluruh masyarakat Lamakukung menyelesaikan aktivitas menaman di kebun masing-masing. Dan sisa dari bibit (erra) itulah yang digunakan untuk makan saat hokko lewo berlangsung. Puncak acara hokko lewo adalah bu’a lamak ( makan bersama) sebagai wujud kebersamaan, senasib dan seperjuangan.
 2.   Ritual Hokko Lewo saat hasil pertanian mulai berbuah atau lebih dikenal dengan Rekka Wu’un (makan dari hasil yang baru panen). ritual ini digelar sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan karena hasil tanam mereka sudah berbuah dan sudah boleh dipetik. Ritual  ini menandai dimulainya hasil-hasil pertanian seperti jagung sudah boleh dipetik dan makan. Biasanya digelar bulan Maret. Saat ritual ini berlangsung warga membawa hasil panen berupa jagung muda ke kampung dan dimakan bersama.  
3. Ritual hokko Lewo usai musim panen, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan karena mereka telah selesai memanen hasil pertanian. Dan memohon kepada Tuhan agar dimurahkan rezeki, dijauhkan dari  bahaya, terutama memohon agar kampung halaman mereka, dan segala isinya dijauhkan dari bencana.
Menurut penuturan tokoh adat Lamakukung Khadri Arakian, dan tokoh masyarakat Aminudin Taby, ritual Hokko Lewo ini sudah digelar secara turun temurun. Dalam pelaksanaannya, ritual Hokko Lewo juga sudah diatur sesuai struktur adat suku-suku yang ada di Lamakukung. Prosesi kegiatan budaya ini berlangsung sama. Urutannya dimulai dari pengumuman oleh pemilik kampung (lewo alate) akan waktu pelaksanaan Hokko Lewo.
Ketika tiba waktunya, semua kepala suku di lamakukung masing-masing kepala suku Lamakukung dan pengikutnya, kepala suku taby dan pengikutnya, Kepala suku Lewotapo dan pengikutnya, Kepala suku Botan dan pengikutnya, berkumpul di Nuba (tempat prosesi). Setelah itu, prosesi ditandai dengan bau lolon (menuangkan minuman tuak atau arak) oleh kepala suku lewotapo atau yang mewakili dan diserahkan kepada kepala suku Lamakukung untuk dituang di atas permukaan tanah dan sisanya diminum, selanjutnya minuman diserahkan secara bergilir kepada kepala suku taby dan terakhir adalah kepala suku Botan dan Lewo tapo.
Bersamaan dengan bau lolon juga disertai dengan ungkapan syair-syair adat terutama ungkapan terima kasih kepada para leluhur dan sang pencipta yang telah menjaga kampung dan segala isinya, menjaga kampung halaman dari berbagai bencana alam serta hasil panen yang berlimpah. 
               Menurut Dr. Karolus Kopong Medan (2010), upacara bau lolon bukan hanya sekadar menuangkan sedikit tuak atau arak ke atas tanah lalu meminum sisanya, tetapi sesungguhnya merupakan sebuah ritual yang sangat sakral untuk menghadirkan Tuhan Sang Dewa dan seluruh kekuatan gaib.
               Sementara itu menurut Sabon Ola, dkk (2005), upacara bau lolon adalah, upacara memberikan sesajian/ persembahan kepada leluhur agar seseorang  atau sekelompok orang dibebaskan dari  malapetaka, bebas dari penyakit, dan  diberikan kesejahteraan hidup.
Karena itu masyarakat Lamakukung berkeyakinan bahwa jika prosesi ini tidak digelar, maka sang pencipta akan murka. Kemurkaan itu akan menimbulkan berbagai bencana alam yang akan menimpa mereka seperti kemarau panjang, serangan hama tikus dan hama wereng, angin topan dan banjir  selalu diyakini  sebagai bagian dari kemurkaan tuhan terhadap masyarakat Lamakukung karena tidak menggelar ritual Hokko lewo.    Prosesi budaya ini selain memiliki nilai kesakralan, selain  itu dalam perspektif  ekonomi, ritual ini dapat menjadi obyek wisata budaya yang dapat mendatangkan devisa bagi desa.    






















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari uraian pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.    Kebudayaan merupakan suatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan yang meliputi ide atau gagasan yang terdapat dalam fikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Namun, kebudayaan dapat dilihat dari perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata yang ada di lingkungan masyarakat sebagai wujud ciptaannya sebagai makhluk yang berbudaya.
2.    Kearifan lokal dipandang sebagai upaya pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis, agar terhindar dari bencana dengan ritual-ritual tertentu.
3.    Budaya Hokko lewo adalah kegiatan kebudayaan yang digelar sebagai bentuk penghormatan terhadap sang pencipta dan menjaga harmoni antara manusia dan alam.

B.    SARAN
1.      Kebudayaan sebagai hasil karya yang diperoleh melalui proses belajar harus terus
       dilestarikan dalam rangka mendekatkan hubungan manusia dan alam.
2.      Berbagai kearifan lokal dalam bentuk ritual Harus terus digalakan sebagai upaya
        konservasi guna pencegahan terhadap kerusakan lingkungan.
3.      Budaya hokko lewo termasuk kegiatan kebudayaan yang terus dilestarikan guna   menjaga harmoni antara manusia dan alam semesta.








DAFTAR PUSTAKA


A.Sonny Keraf 2010, Etika Lingkungan Hidup, Penerbit Kompas
Alwan Husen.blogspot.com, 2009” Adonara  dan Bau Lolon
Karolus Kopong Medan, 2010,” Hentikan Perang Tanding, Pos Kupang Maret 2010
Rachmad K. Dwi Susilo,2008 “ Sosiologi Lingkungan, Penerbit Rajawali Pers
Sofyan Anwar Mufid, 2014, “Ekologi Manusia Dalam Perspektif Kehidupan dan Ajaran
Islam, Edisi revisi, Penerbit Remaja Rosdakarya Bandung
Simon  Sabon Ola dan Theo Eban Ola,” Struktur Tuturan Ritual Kelompok Etnik Lamaholot
Jurnal Ilmiah Bahasa Dan Sastra Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005
http://rendhi.wordpress.com, 2014 /”Makalah , Pengaruh Budaya Terhadap Lingkungan















Tidak ada komentar:

Posting Komentar