MELESTARIKAN
BUDAYA 'HOKKO LEWO',
SEBUAH KEARIFAN LOKAL
MASYARAKAT LAMAKUKUNG DALAM MENJAGA HARMONI
ANTARA
MANUSIA DAN LINGKUNGAN
Baharudin
Hamzah
(Mahasiswa Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan
Undana Kupang)
Abstract
BAHARUDIN HAMZAH : Hokko Lewo
literally came from the word Hokko means, lifting or cleaning, while Lewo means
village. In a broad sense Hokko Lewo means, village cleaning activities and
symbols of various impurities that village (Lewo) be clean, physically from
various garbage visually photographed by humans. Meanwhile, in a spiritual
context, the activity is defined as a human ikhitiar to liberate the village as
people from various plagues and calamities that come from the creator of nature
or society Lamaholot known as 'Ama Rera quarterly' (Mr. Sun and the Moon).
Community Lamakukung Dawata'a Village District of East Adonara have a cultural tradition that is inherited from generation to generation until now is Hokko Lewo ceremony is always held three times a year. Although the development of civilization continues to advance with the presence of religion revealed by God as revelation through prophets, but the culture Hokko Lewo coming long before the presence of religion still exist existence.
Community Lamakukung Dawata'a Village District of East Adonara have a cultural tradition that is inherited from generation to generation until now is Hokko Lewo ceremony is always held three times a year. Although the development of civilization continues to advance with the presence of religion revealed by God as revelation through prophets, but the culture Hokko Lewo coming long before the presence of religion still exist existence.
Community Lamakukung Dawata'a village
District of East Adonara as a civilized community believes that Hokko Lewo is
part of a way of communicating with nature and the creator. Also believed that
natural disasters ditimpahkan such as droughts, floods and landslides and other
natural events occur because is a causal relationship can not be separated
between human cultural practices in managing natural and kemurkahan God.
Therefore, Lewo Hokko ceremony practiced in an effort aimed at maintaining a
harmonious relationship between man and the creator as well as the environment.
With this ritual Lamakukung community believe that they will be free of
calamities.
Keywords: Hokko, Lewo, Lamakukung
Keywords: Hokko, Lewo, Lamakukung
BAHARUDIN HAMZAH : Hokko Lewo secara harfiah bersal dari kata Hokko
artinya, angkat atau membersihkan, sedangkan Lewo artinya Kampung. Dalam pengertian yang luas Hokko
lewo artinya, kegiatan membersihkan kampung dan simbol-simbolnya dari berbagai
kotoran agar kampung (Lewo) menjadi bersih,secara fisik dari berbagai sampah
yang terpotret secara visual oleh manusia. Sedangkan dalam konteks spiritual,
kegiatan tersebut dimaknai sebagai ikhitiar manusia untuk membebaskan kampung sebagai manusia
dari berbagai malapetaka dan musibah yang datang dari pencipta alam atau yang
dikenal masyarakat lamaholot dengan sebutan’ Ama rera wulan’ (Bapak matahari
dan Bulan).
Masyarakat Lamakukung Desa Dawata’a Kecamatan Adonara
Timur memiliki sebuah tradisi kebudayaan yang terwarisi dari generasi ke
generasi hingga kini adalah upacara Hokko Lewo yang selalu digelar tiga kali
dalam setahun. Meskipun perkembangan peradaban terus maju dengan kehadiran
agama yang diturunkan oleh Tuhan sebagai wahyu melalui para nabi, namun
kebudayaan Hokko Lewo yang datang jauh sebelum kehadiran agama tetap eksis
keberadaannya.
Masyarakat Lamakukung desa Dawata’a Kecamatan Adonara Timur
sebagai sebuah komunitas yang berbudaya meyakini bahwa hokko lewo adalah bagian
dari cara berkomunikasi dengan alam dan sang pencipta. Diyakini pula bahwa
berbagai bencana alam yang ditimpahkan seperti kekeringan, banjir dan tanah
longsor dan berbagai peristiwa alam lainnya terjadi karena adalah hubungan sebab akibat yang tak bisa
dipisahkan antara praktek budaya manusia dalam mengelola alam dan kemurkahan
Tuhan. Karenanya, upacara hokko lewo dipraktekkan sebagai usaha bertujuan menjaga keselarasan hubungan antara antara manusia dan sang pencipta serta lingkungan.
Dengan ritual ini masyarakat Lamakukung meyakini bahwa mereka akan terbebas
dari berbagai musibah.
Kata Kunci :
Hokko, Lewo, Lamakukung
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya yang dikembangkan oleh manusia akan berimplikasi
pada lingkungan tempat kebudayaan itu berkembang. Suatu kebudayaan memancarkan
suatu ciri khas dari masyarakatnya yang tampak dari luar, artinya orang asing.
Dengan menganalisis pengaruh akibat budaya terhadap lingkungan seseorang dapat
mengetahui, mengapa suatu lingkungan tertentu akan berbeda dengan lingkungan
lainnya dan menghasilkan kebudayaan yang berbeda pula.
Usaha untuk menjelaskan perilaku manusia sebagai perilaku budaya dalam
kaidah dengan lingkungannya, terlebih lagi perspektif lintas budaya akan
mengandung banyak variabel yang saling berhubungan dalam keseluruhan sistem
terbuka. Pendekatan yang saling berhubungan dengan psikologi lingkungan adalah
pendekatan sistem yang melihat rangkaian sistemik antara beberapa subsistem
yang ada dalam melihat kenyataan lingkungan total yang melingkupi satuan budaya
yang ada.
Beberapa variabel yang berhubungan dengan masalah kebudayaan dan
lingkungan diantaranya, Physical
Environment, menunjuk pada lingkungan natural seperti: temperatur, curah hujan,
iklim, wilayah geografis, flora dan fauna. Cultural Social
Environment, meliputi aspek-aspek kebudayaan beserta proses sosialisasi seperti:
norma - norma, adat istiadat, dan nilai-nilai. Environmental
Orientation and Representation, mengacu pada persepsi dan keper-cayaan kognitif
yang berbeda beda pada setiap masyarakat mengenai Iingkungannya. Environmental Behavior and Process, meliputi
bagaimana masyarakat menggunakan lingkungan dalam hubungan sosial. Serta Out Carries Product, meliputi hasil tindakan manusia seperti membangun rumah, komunitas, kota
beserta usaha-usaha manusia dalam memodifikasi lingkungan fisik seperti budaya
pertanian dan iklim.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kebudayaan
yang berlaku dan dikembangkan dalam lingkungan tertentu berimplikasi terhadap
pola tata laku, norma, nilai dan aspek kehidupan lainnya yang akan menjadi ciri
khas suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Budaya
Hokko Lewo merupakan sebuah tradisi
warisan leluhur masyarakat Lamakukung Desa Dawata’a Kecamatan Adonara Timur,
Kabupaten Flores Timur yang terpelihara sampai saat ini. Budaya hokko lewo sebagai sebuah rangkaian kegiatan ritual yang
berhubungan dengan lingkungan. Masyarakat Lamakukung menyakini bahwa Hokko Lewo atau bersihkan kampung
sebagai sarana untuk mengusir berbagai
penyakit dari dalam kampung dan ekspresi ungkapan terima kasih masyarakat
Lamakukung kepada para leluhur dan sang pencipta, karena mereka terlindungi
dari berbagai bencana dan musibah. Rangkaian kegiatan kebudayaan ini berlangsung
tiga kali dalam setahun. Kegiatan pertama digelar bertepatan dengan musim
tanam, kegiatan kedua digelar saat hasil panen mulai berbuah, dan kegiatan
ketiga digelar setelah musim panen.
B.Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah :
1. Mengkaji berbagai literatur tentang praktek kebudayaan
manusia yang relevan dengan pelestarian lingkungan hidup.
2. Menambah khazanah pengetahuan tentang pentingnya
kearifan lokal dalam rangka menjaga keseimbangan antara kegiatan kebudayaan
manusia dengan pengelolaan sumber daya alam.
3. Memenuhi tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
a. Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan
merupakan kata berimbuhan dari kata dasar budaya. Budaya atau kebudayaan
berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu budayyah, yang merupakan bentuk jamak dari
buddhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi
dan akal manusia.(duniabaca.com).
Dalam Bahasa Inggris, kebudayaan disebut
dengan culture yang berasal dari Bahasa Latin Colere, yang berarti mengolah
atau mengerjakan. Dalam Bahasa Indonesia culture sudah menjadi
kata serapan yaitu kultur.
Kebudayaan
sangat erat kaitannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw
Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dalam
ehidupan sehari-hari kita melihat segala upaya yang dilakukan manusia untuk
menemukan dan penciptakan suatu inovasi merupakan proses dan hasil dari budaya.
Menurut
Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,
norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial,
religius, dan lain-lain, tambahan lagi, segala penryataan intelektual dan
artistik yng menjadi ciri khas suatu masyarakat (wikipedia.org).
Sedangkan
definisi dari Ki Hajar Dewantara, mengartikan kebudayaan sebagai buah budi
manusia yang merupakan perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yaitu
zaman alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai
macam rintangan dan kesukaran dalam hidup (fadila-hasnan93.blogspot.com).
Perwujudan
dari kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk
yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya
pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni,
dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Jadi,
kebudayaan merupakan suatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan yang
meliputi ide atau gagasan yang terdapat dalam fikiran manusia, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Namun, kebudayaan dapat
dilihat dari perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata yang ada di
lingkungan masyarakat sebagai wujud ciptaannya sebagai makhluk yang berbudaya.
Setiap
masyarakat memiliki tujuh unsusr kebudayaan (cultural universal) yang dikemukan
oleh C. Kluckhon, yaitu:
1)
Sistem religius (homo religius)
Merupakan
produk manusia sebagai makhluk homo religius. Manusia yang memiliki kecerdasan
pikiran dan perasaan luhur, tanggap bahwa di atas kekuatan dirinya terdapat
kekutan lain yang Maha Besar. Karena itu, manusia takut sehingga menyembah-Nya
dan lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama.
2) Sistem
organisasi kemasyarakatn (homo socius)
Merupakan
produk manusia sebagai homo socius. Manusia sadar bahwa tubuhnya lemah namun
memiliki akal, maka disusunlah organisasi kemasyarakatan di mana manusia
bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
3) Sistem pengetahuan (homo sapiens) Merupakan produk manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan dapat diperoleh dari
pemikiran sendiri maupun dari orang lain.
4) Sistem
mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (homo economicus) merupakan produk manusia sebagai homo
economicus, yaitu menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus
meningkat.
5) Sistem
peralatan hidup dan teknologi (homo faber) merupakan produk manusia sebagai homo faber. Bersumber dari
pemikirannya yang cerdas dan dibantu dengan tangannya manusia dapat membuat dan
menggunakan alat, dengan alat-alat ciptaannya itulah manusia dapat lebih mampu
mencukupi kebutuhannya.
6) Kesenian
7) Sistem bahasa
Kebudayaan adalah produk akal manusia dan merupakan
anugerah Tuhan. Dengan budaya manusia mampu mengembangkan aktivitas dan
kreativitasnya hingga pada tingkiat luar biasa. Budaya dapat diartikan
sebagai sistem nilai dan gagasan utama.
Menurut Koentjaraningrat, 1990 dalam Mufid, 2014 kebudayaan diartikan
sebagai keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan mayarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Dengan demikian, hampir seluruh tindakan manusia
adalah kebudayaan karena sangat sedikit tindakan manusia yang dilakukan melalui
proses refleks, tanpa melalui proses berfikir dan belajar. Sedangkan insting
atau naluri adalqh pembawaan yang
bersifat universal, yang dimiliki oleh setiap manusia dan ada kesamaan dalam
performa sepert takut, sedih, tertawa,
menangis dan lainnya tanpa dipelajari, dia ada secara universal tanpa memandang
etnis dan geografis.
Menurut Van Peursen 1976 dalam Mufid, 2014,
membicarakan kebudayaan sama dengan membicarakan manusia. Ini bermakna bahwa
antara manusia dan budayanya tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, jika
membicarakan tentang hakikag manusia, sama dengan dengan membicarakan hakikat
budayanya. Manusia, akal dan budayanya adalah satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan yang telah terintegrasi ke dalam sosok manusia
Kebudayaan menurut Taylor dalam
Soekanto (1990), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup
pengetahuan,kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap
kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan
kebudayaan adalah segala perubahan yang mencakup unsur-unsur tersebut.
Dalam konteks kebudayaan, bentuk penghormatan kepada mata
air, pohon, gunung dan hutan sebagai ruang yang diyakini sebagai tempat yang
memiliki ’penjaga’ yang dimaknai
memiliki kekuatan gaib, ternyata dapat menciptakan
cara berperilaku manusia yang tidak jauh
dengan prinsip konservasi.
Karena dalam prinsip konservasi, yang dibutuhkan adalah
rasa saling menghormati dan menjaga alam. Masyarakat cenderung akan berpikir
ulang jika melakukan kegiatan di tempat-tempat yang dianggap memiliki kekuatan
atau ada ’penjaga’. Mereka akan menjaga dan menghormati tempat-tempat tersebut.
Meskipun bentuk dari penghormatan tersebut seringkali berupa ritual-ritual
tertentu, namun dapat merubah sikap bijaksana untuk menjaga harmoni dengan
alam. Suatu tempat yang dianggap memiliki kekuatan mistik atau angker membuat
manusia jarang beraktivitas di tempat itu.
Hal tersebut dapat menjaga keseimbangan ekosistem.
b.
Pentingnya Menjaga Kearifan Lokal
Dalam beradaptasi dengan lingkungan, masyarakat
memperoleh dan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide,
norma adat, nilai budaya, aktivitas, dan peralatan sebagai hasil abstraksi
mengelola lingkungan. Seringkali pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat
dijadikan pedoman yang akurat dalam mengembangkan kehidupan di lingkungan
pemukimannya.
Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan
hidup yang ada dalam masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun temurun
menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Kesadaran masyarakat untuk
melestarikan lingkungan dapat ditumbuhkan secara efektif melalui pendekatan
kebudayaan. Jika kesadaran tersebut dapat ditingkatkan, maka hal itu akan
menjadi kekuatan yang sangat besar dalam pengelolaan lingkungan.
Dalam pendekatan kebudayaan ini, penguatan modal sosial, seperti pranata
sosialbudaya, kearifan lokal, dan norma-norma yang terkait dengan pelestarian
lingkungan hidup menjadi penting menjadi basis yang utama.
Krisis ekonomi dewasa ini, masyarakat yang hidup dengan
menggantungkan alam dan mampu menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dengan
kearifan lokal yang dimiliki dan dilakukan tidak begitu merasakan adanya krisis
ekonomi, atau pun tidak merasa terpukul seperti halnya masyarakat yang hidupnya
sangat dipengaruhi oleh kehidupan modern. Maka dari itu kearifan lokal penting
untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga keseimbangan dengan
lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan lingkungannya. Berkembangnya
kearifan lokal tersebut tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor yang akan
mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungannya.
c. Hokko Lewo, Kearifan Lokal dan
Pelestarian Lingkungan
Ritual merupakan bagian dari kepercayaan. Di kalangan
masyarakat lamaholot setiap tempat
berbeda-beda ritual yang berhubungan langsung dengan alam. Prosesi ritual
dilakukan sebagai bagian dari ikhtiar manusia membebaskan diri dari berbagai
bencana akibat kemurkaan alam. Masyarakat Lamaholot, khususnya Lamakukung masih
meyakini bahwa gunung, hutan, mata air, pohon yang rindang memiliki kekuatan
mistis karena ditempat itu ada ’penjaga’. Kepercayaan ini secara tidak langsung
sebagai upaya konservasi sumber daya alam, karena hutan, mata air, pohon tidak
bisa ditebang secara liar. Selain harus ada ritual untuk meminta ’restu’. Juga
pilihan waktu (oras) juga harus
tepat. Jika semua persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka bisa menimbulkan
bencana alam.
Menurut Keraf (2002), kearifan lokal adalah
semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat
kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam
komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan,
diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola
perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.
Selanjutnya Francis Wahono (2005) dalam jejak hijau
(2012) menjelaskan, kearifan lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi
pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah
berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran
manusia. Kearifan local tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada
norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi
seperti religi yang mempedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik
dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang
lebih jauh.
Dari uraian diatas, maka kearifan lokal Hokko lewo adalah
sebuah ikhtiar masyarakat lamakukung menjaga harmoni ekologis, sebagai bentuk
konservasi terhadap sumber daya alam yang diyakini setiap tempat, terutama
hutan, mata air, pohon memiliki ’penjaga’. para ’penjaga’ yang menempati hutan,
mata air, pohon dan simbol-simbol lain yang dibuat oleh masyarakat lamakukung
seperti Nuba, (tempat upacara ritual ) bau lolon.
Ritual diadakan oleh masyarakat lamakukung sebagai bentuk
penghormatan kepada roh-roh sebagai penjaga gunung, hutan, dan pohon serta kampung. Bentuk dari ritual
tersebut sangat beragam. Mulai dari penghormatan agar roh-roh tersebut tidak
menggangu masyarakat, sampai pada penghormatan sebagai bentuk rasa syukur
karena telah melimpahkan rejeki. Ritual
Hokko Lewo yang dilakukan masyarakat Lamakukung ini tidak lepas dari adanya pandangan masyarakat
terhadap alam bahwa setiap aktivitas yang dilakukan berhubungan dengan alam semestinya
dilakukan dengan ritual sebagai ungkapan pernyataan rasa syukur dan terima
kasih.
Ritual hokko lewo yang dianut masyarakat Lamakukung
dilakukan tiga kali dalam setahuan yakni:
1. Ritual Hokko
Lewo setelah menanam . Menurut kepercayaan masyarakat lamakukung, ritual
ini digelar untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada sang pencipta, karena
masih diberi kesempatan hidup, dan mereka memperoleh rahmat Tuhan berupa
air hujan sehingga mereka bisa bercocok
tanam, serta minta hasil panen mereka berlimpah. Ritual ini biasanya digelar
bulan November-Januari setelah seluruh
masyarakat Lamakukung menyelesaikan aktivitas menaman di kebun masing-masing.
Dan sisa dari bibit (erra) itulah
yang digunakan untuk makan saat hokko lewo berlangsung. Puncak acara hokko lewo
adalah bu’a lamak ( makan bersama)
sebagai wujud kebersamaan, senasib dan seperjuangan.
2. Ritual
Hokko Lewo saat hasil pertanian mulai
berbuah atau lebih dikenal dengan Rekka
Wu’un (makan dari hasil yang baru panen). ritual ini digelar sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan karena
hasil tanam mereka sudah berbuah dan sudah boleh dipetik. Ritual ini menandai dimulainya hasil-hasil pertanian
seperti jagung sudah boleh dipetik dan makan. Biasanya digelar bulan Maret.
Saat ritual ini berlangsung warga membawa hasil panen berupa jagung muda ke
kampung dan dimakan bersama.
3. Ritual hokko Lewo usai musim panen, sebagai ungkapan
rasa syukur kepada Tuhan karena mereka telah selesai memanen hasil pertanian.
Dan memohon kepada Tuhan agar dimurahkan rezeki, dijauhkan dari bahaya, terutama memohon agar kampung halaman
mereka, dan segala isinya dijauhkan dari bencana.
Menurut penuturan tokoh adat Lamakukung Khadri Arakian,
dan tokoh masyarakat Aminudin Taby, ritual Hokko Lewo ini sudah digelar secara
turun temurun. Dalam pelaksanaannya, ritual Hokko
Lewo juga sudah diatur sesuai struktur adat suku-suku yang ada di
Lamakukung. Prosesi kegiatan budaya ini berlangsung sama. Urutannya dimulai
dari pengumuman oleh pemilik kampung (lewo
alate) akan waktu pelaksanaan Hokko Lewo.
Ketika tiba waktunya, semua kepala suku di lamakukung
masing-masing kepala suku Lamakukung dan pengikutnya, kepala suku taby dan
pengikutnya, Kepala suku Lewotapo dan pengikutnya, Kepala suku Botan dan
pengikutnya, berkumpul di Nuba (tempat prosesi). Setelah itu, prosesi ditandai
dengan bau lolon (menuangkan minuman tuak atau arak) oleh kepala suku lewotapo
atau yang mewakili dan diserahkan kepada kepala suku Lamakukung untuk dituang
di atas permukaan tanah dan sisanya diminum, selanjutnya minuman diserahkan secara
bergilir kepada kepala suku taby dan terakhir adalah kepala suku Botan dan Lewo
tapo.
Bersamaan dengan bau lolon juga disertai dengan ungkapan
syair-syair adat terutama ungkapan terima kasih kepada para leluhur dan sang
pencipta yang telah menjaga kampung dan segala isinya, menjaga kampung halaman
dari berbagai bencana alam serta hasil panen yang berlimpah.
Menurut Dr. Karolus Kopong Medan
(2010), upacara bau lolon bukan hanya
sekadar menuangkan sedikit tuak atau arak ke atas tanah lalu meminum sisanya,
tetapi sesungguhnya merupakan sebuah ritual yang sangat sakral untuk
menghadirkan Tuhan Sang Dewa dan seluruh kekuatan gaib.
Sementara itu menurut Sabon Ola,
dkk (2005), upacara bau lolon adalah, upacara memberikan sesajian/ persembahan kepada leluhur agar seseorang atau
sekelompok orang dibebaskan dari malapetaka, bebas dari penyakit, dan diberikan kesejahteraan hidup.
Karena itu masyarakat Lamakukung berkeyakinan bahwa jika
prosesi ini tidak digelar, maka sang pencipta akan murka. Kemurkaan itu akan
menimbulkan berbagai bencana alam yang akan menimpa mereka seperti kemarau
panjang, serangan hama tikus dan hama wereng, angin topan dan banjir selalu diyakini sebagai bagian dari kemurkaan tuhan terhadap
masyarakat Lamakukung karena tidak menggelar ritual Hokko lewo. Prosesi budaya
ini selain memiliki nilai kesakralan, selain
itu dalam perspektif ekonomi,
ritual ini dapat menjadi obyek wisata budaya yang dapat mendatangkan devisa
bagi desa.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian pada bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1.
Kebudayaan merupakan suatu yang akan
memengaruhi tingkat pengetahuan yang meliputi ide atau gagasan yang terdapat
dalam fikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu
bersifat abstrak. Namun, kebudayaan dapat dilihat dari perilaku dan benda-benda
yang bersifat nyata yang ada di lingkungan masyarakat sebagai wujud ciptaannya
sebagai makhluk yang berbudaya.
2. Kearifan lokal dipandang sebagai upaya pengelolaan alam
semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis, agar terhindar dari bencana dengan
ritual-ritual tertentu.
3. Budaya Hokko lewo
adalah kegiatan kebudayaan yang digelar sebagai bentuk penghormatan terhadap
sang pencipta dan menjaga harmoni antara manusia dan alam.
B. SARAN
1. Kebudayaan sebagai hasil karya yang diperoleh melalui
proses belajar harus terus
dilestarikan
dalam rangka mendekatkan hubungan manusia dan alam.
2. Berbagai kearifan lokal dalam bentuk ritual Harus
terus digalakan sebagai upaya
konservasi guna pencegahan terhadap kerusakan
lingkungan.
3. Budaya hokko
lewo termasuk kegiatan kebudayaan yang terus dilestarikan guna menjaga harmoni antara manusia dan alam
semesta.
DAFTAR PUSTAKA
A.Sonny Keraf
2010, Etika Lingkungan Hidup,
Penerbit Kompas
Alwan
Husen.blogspot.com, 2009” Adonara dan Bau Lolon
Karolus Kopong
Medan, 2010,” Hentikan Perang Tanding,
Pos Kupang Maret 2010
Rachmad K. Dwi
Susilo,2008 “ Sosiologi Lingkungan, Penerbit
Rajawali Pers
Sofyan
Anwar Mufid, 2014, “Ekologi Manusia Dalam
Perspektif Kehidupan dan Ajaran
Islam, Edisi revisi, Penerbit Remaja Rosdakarya Bandung
Simon
Sabon Ola
dan Theo Eban Ola,” Struktur
Tuturan Ritual Kelompok Etnik Lamaholot
Jurnal Ilmiah Bahasa Dan Sastra Volume I No. 2 Oktober
Tahun 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar